Saat Pikiran Kita Dikuasai Algoritma

Coba ingat pagi Anda hari ini. Begitu bangun, apa yang pertama kali Anda lakukan? Buka HP? Scroll media sosial? Lihat status WhatsApp atau baca berita di linimasa? Nah, di situlah medan tempur zaman sekarang dimulai. Tapi ini bukan perang biasa—bukan soal senjata atau wilayah. Ini adalah perang kognitif, perang yang menargetkan pikiran Anda.

Perang ini tak berbunyi. Tak ada sirene, tak ada tank di jalan. Tapi dampaknya bisa lebih luas daripada sekadar adu fisik. Ia menyusup lewat informasi, disinformasi, dan algoritma yang mengatur apa yang kita lihat, baca, bahkan pikirkan. Tak butuh waktu lama—dalam hitungan jam, opini publik bisa dibelokkan, emosi massa bisa dipicu, dan masyarakat bisa terbelah hanya karena satu narasi yang sengaja disebarkan.

Kita Merasa Memilih, Padahal Sudah Dikendalikan

Daniel Kahneman, psikolog peraih Nobel, pernah bilang bahwa manusia menggunakan heuristik—jalan pintas berpikir—untuk membuat keputusan cepat. Di zaman dulu, itu penting untuk bertahan hidup. Tapi di dunia digital sekarang, itu jadi kelemahan. Kita mudah percaya pada apa yang sering muncul, bukan pada apa yang benar. Kita terjebak dalam bias konfirmasi, di mana kita hanya percaya pada informasi yang cocok dengan pikiran kita sebelumnya.

Celakanya, algoritma media sosial tahu persis pola kita. Ia tahu apa yang kita suka, apa yang kita benci, bahkan apa yang membuat kita paling emosional. Dari situ, kita dipertontonkan konten yang memicu reaksi, bukan refleksi. Kita merasa bebas memilih, padahal sebenarnya sedang diarahkan.

Inilah yang disebut ilusi kehendak bebas. Kita pikir sedang menentukan sendiri informasi yang dikonsumsi, padahal semuanya sudah difilter, disusun, dan dikurasi oleh sistem yang tahu cara kerja otak kita.

Emosi Dijadikan Umpan

Algoritma tak peduli benar atau salah. Yang penting: apakah konten itu bikin kita marah? Takut? Geram? Kalau iya, maka ia akan terus dimunculkan. Karena konten semacam itu paling tinggi potensi engagement-nya. Semakin banyak kita bereaksi, semakin untung platform tersebut.

Akibatnya, linimasa kita perlahan berubah jadi medan tempur emosional. Ada yang terus-terusan menghasut, menyebar hoaks, atau memainkan identitas demi memecah belah. Dan semua itu terasa “organik”, padahal sepenuhnya didesain untuk membuat kita terpaku, terpicu, dan terpecah.

Dampaknya Nyata, Termasuk di Daerah

Jangan kira ini hanya soal ibu kota. Justru, dampaknya terasa nyata di daerah. UMKM lokal di Ponorogo, misalnya, bisa tersingkir dari pasar digital karena algoritma e-commerce lebih mengutamakan produk dari pemain besar. Kalau kita beli baju atau keripik lewat toko online, yang muncul bukan selalu produk lokal, melainkan barang dari luar kota bahkan luar negeri.

Ini bukan sekadar soal saingan usaha, tapi bentuk baru dari kolonialisasi digital. Perlahan-lahan, pelaku lokal tersisih dan kita makin tergantung pada entitas raksasa digital. Sementara kita merasa ini semua “netral”, nyatanya algoritma-lah yang mengatur etalase toko, menekan harga, bahkan menentukan siapa yang muncul dan siapa yang tenggelam.

Kita Butuh Kedaulatan Algoritma

Kalau bicara soal kedaulatan digital, kita sering membayangkan soal data dan perangkat keras. Tapi ada satu aspek yang lebih tak kasatmata tapi sangat penting: kedaulatan algoritma.

Indonesia punya lebih dari 212 juta pengguna internet. Itu adalah kekuatan. Kita bukan hanya konsumen, tapi punya daya tawar untuk menetapkan aturan main. Negara bisa, dan seharusnya, mulai mewajibkan platform digital yang beroperasi di sini untuk membuka cara kerja algoritmanya.

Di Eropa, Digital Services Act dan AI Act sudah mewajibkan transparansi sistem rekomendasi. Bahkan, dalam beberapa kasus, penggunaan AI untuk manipulasi psikologis secara terang-terangan dilarang. Kita belum punya regulasi sekuat itu. Tapi bukan berarti tak bisa memulai.

Langkah kecil bisa dimulai dari kebijakan lokal. Pemerintah daerah bisa mendorong literasi digital, membuka diskusi publik soal dampak algoritma, bahkan memberi insentif bagi pelaku digital lokal yang menciptakan sistem lebih adil dan transparan. Media lokal juga bisa jadi garda depan—mengedukasi, bukan hanya mengejar klik.

Menjaga Akal Sehat adalah Perlawanan

Zaman sekarang, menjaga akal sehat adalah bentuk baru dari perjuangan. Kita perlu lebih hati-hati dalam mengonsumsi informasi. Jangan mudah terpancing, jangan buru-buru percaya. Tanyakan ulang: ini informasi, atau manipulasi?

Karena hari ini, yang dipertaruhkan bukan sekadar apa yang kita tahu. Tapi bagaimana kita berpikir, bagaimana kita bersikap, dan siapa yang sesungguhnya mengendalikan semua itu.

Perang kognitif sedang berlangsung. Dan satu-satunya cara untuk menang adalah dengan sadar bahwa kita sedang dijadikan sasaran. Saat itulah kita bisa mulai melawan—dengan nalar, dengan empati, dan dengan keberanian untuk berpikir sendiri.

Karena dalam dunia yang penuh algoritma, kemampuan berpikir jernih adalah bentuk paling murni dari kebebasan.

Post a Comment

Previous Post Next Post