Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menyampaikan bahwa meskipun angka nasional membaik, ketimpangan tetap menjadi persoalan yang harus dicermati—terutama di wilayah perkotaan dan sejumlah provinsi yang mencatat rasio di atas rata-rata nasional.
Ketimpangan Lebih Nyata di Kota
BPS mencatat perbedaan mencolok antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Pada Maret 2025, Gini ratio di kota tercatat sebesar 0,395, sedangkan di desa hanya 0,299. Ketimpangan pengeluaran dinilai lebih terasa di kota-kota besar karena dominasi kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.
“Di desa, mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian. Jenis pekerjaan dan pengeluarannya cenderung homogen. Ini yang membuat ketimpangan lebih kecil dibandingkan kota,” ujar Ateng, dikutip dari Antara.
Struktur pendapatan yang lebih beragam di kota menyebabkan variasi konsumsi yang tajam, sehingga memperlebar jurang ekonomi antarkelompok.
DKI Jakarta Paling Tinggi, Bangka Belitung Paling Merata
Meskipun tren nasional menunjukkan penurunan, tujuh provinsi justru mencatat Gini ratio di atas angka rata-rata nasional (0,375). DKI Jakarta menjadi daerah dengan ketimpangan pengeluaran paling tinggi, mencapai 0,441. Angka ini bahkan meningkat dibandingkan Maret 2024 (0,423) dan September 2024 (0,431).
Enam provinsi lain yang masuk daftar “paling timpang” adalah:
- DI Yogyakarta: 0,426
- Jawa Barat: 0,416
- Papua Selatan: 0,412
- Papua: 0,404
- Gorontalo: 0,392
- Kepulauan Riau: 0,382
Sebaliknya, provinsi dengan tingkat ketimpangan terendah adalah Kepulauan Bangka Belitung, dengan Gini ratio hanya 0,222.
Distribusi Pengeluaran Masih Berat di Kota
Menurut standar ketimpangan dari Bank Dunia, proporsi pengeluaran dari 40 persen kelompok penduduk terbawah mencapai 18,65 persen pada Maret 2025. Jika dirinci, kontribusi kelompok ini di wilayah kota hanya 17,64 persen, sedangkan di desa mencapai 21,75 persen. Hal ini kembali menunjukkan bahwa pemerataan pengeluaran cenderung lebih baik di perdesaan.
Data dan Metodologi
Angka-angka tersebut berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan pada Februari 2025, sebelum bulan Ramadhan yang berpotensi memengaruhi pola konsumsi. Survei melibatkan sekitar 345 ribu rumah tangga di 514 kabupaten/kota dari 38 provinsi, menjadikannya salah satu survei sosial terbesar dan paling representatif di Indonesia.